Latest News
Monday, March 18, 2013

Aku, Kamu, dan Danau Toba

September, 2012
“Sudah siap?” tanya Papa kepadaku sebelum kami berangkat. Aku mengangguk dengan pasti. Aku menoleh ke bangku belakang dan melihat semua barang-barang yang kami bawa. Ku rasa cukup.
“Apa itu nggak kebanyakan?” tanya Papa lagi.
“Aku rasa nggak. Wajar kan Pa kita banyak bawa oleh-oleh untuk keluarga di sana? Apalagi aku yang udah lama banget gak ketemu mereka.” Jelasku dengan pasti.
“Terus cara bawanya gimana?” Aku terdiam. Berpikir keras. Iya juga bagaimana cara aku membawanya.
“Memang kita naik pesawat ke sana, tapi bukan berarti kita bisa bawa barang sebanyak itu sayang. Papa kira cukup bawa baju yang kamu belikan untuk Nenekmu di sana.” Jelas Papa sambil mengelus rambutku.
“Baiklah. Tapi di tambah boneka ini untuk Ira.”
Papa tersenyum. “Kita berangkat Pak.” Kata Papa kepada Pak Asep, supir yang sudah menemani Papa selama 8 tahun ini.
Ah Medan. Sumatera Utara. Keluarga. Nenek. Ira. Mama. Dan danau Toba. Kenangan 7 tahun lalu itu masih tersimpan rapi di memori otakku. Saat bertemu Mama, di kenalkan dengan Ira, saat aku baru tau aku punya 2 orang Papa, dan saat di danau Toba. Itu semua entah kenapa tidak bisa aku lupakan. Ntahlah.
***



Tahun 2005

“Pa liat itu pesawatnya. Kita naik pesawat itu yaa? Kenapa warna pesawatnya putih semua? Kenapa gak warna ijo aja sih Pa. Aku mau pesawat warna ijo.” Ocehku pada Papa saat itu. Saat pertama kali aku di ajak Papa ke bandara. Bukan untuk menjemput seseorang.

“Asti, pesawat warna ijonya belum di buat. Nanti kita buat kalo udah sampai di sana ya.” Papa menggendongku dan mencium pipiku. Aku berontak untuk turun. Padahal aku senang tapi aku merasa malu. Mungkin waktu itu aku yang masih menduduki bangku 6 SD, dan sebentar lagi sudah mau SMP merasa sudah dewasa. Yah masih terlalu cepat untuk memikirkan itu sebenarnya.

“Kita mau ke mana Pa? Yang kata Papa ada danau terbesar itu. Asti lupa namanya.”

“Katanya udah belajar di sekolah. Masa’ lupa sih Non.” Kata Bi Nur, pembantu rumah kami yang juga ikut serta. Dan jangan lupa Pak Asep juga yang selalu setia menemani Papa.

“Aku lupa Bi. Yang jelas itu Provinsi Sumatera, bukan Provinsi Jawa. Apa ya?” aku mencoba mengingatnya. Ah sial seharusnya aku bawa buku sekolahku.

“Kita mau ke Medan sayang. Kita ke Sumatera Utara.” Kata Papa sambil menggandeng tanganku. Aku tersenyum. Itu dia Sumatera Utara.

Polonia, 2012

“Pa, lama banget sih yang jemput?” tanyaku dengan suara lemas.

“Sabar sayang, Om Adi bentar lagi jemput kok. Dia udah deket katanya.” Jelas Papa sambil mengelus rambutku. Bosan menunggu, aku melihat hpku yang dari tadi aku nonaktifkan. 3 pesan terbaru dan semua dari Dera.

*From: Dera
Udah berangkat ya lo?*

*From: Dera
Ti, udah berangkat belum? Gua ke rumah lo ya, ada yang mau gua kasih*

From: Dera
Asti gendut jelek! Gua udah di rumah lo ini dan lo udah berangkat. Huuu

Dera ke rumah? Ya ampun jadi merasa bersalah gini. Aku segera menelpon Dera. Tapi tiba-tiba Papa memanggilku.

“Ti, Om Adi udah dateng.” Aku menoleh ke arah Papa. Om Adi melambaikan tangan ke arah kami.

“Maaf mas kelamaan. Maaf ya Ti.” Om Adi mengambil barang-barang bawaan kami dan segera membawa ke mobil. Kami mengikutinya dari belakang.

“Gak apa-apa kok Di. Maaf ya udah ngerepotin pake jemput kita segala.” Jelas Papa.

Perjalanan ke rumah keluarga Mama dari Bandara Polonia cukup jauh. Sekitar 2 jam. Ah aku lupa apa nama daerahnya. Bagiku terlalu sulit mengingat nama daerah di Sumatera Utara, mungkin karena namanya yang unik. Seperti daerah Mandailing Natal yang dulu aku pikir tempat untuk merayakan Hari Raya Natal. Ya apapun nama daerahnya, yang jelas di situ ada mereka.

***

“Kak Asti!” suara imut Ira menyambut kami saat aku turun dari mobil. Ira berlari ke arahku dan aku langsung menggendongnya.

“Ya ampun, kamu udah gede ya sekarang.” Aku menciumi pipi Ira. Ira tersenyum sangat manis. Dan senyuman itulah salah satu alasan aku ingin kembali ke sini.

“Iya dong. Aku kan udah kelas 4 sekarang kak.”

“Apa kabar Sayang?” Mama menyambutku dan langsung mengambil Ira dari gendonganku. Aku menium tangan dan pipi beliau.

“Baik Ma. I miss you.” Mama memelukku dengan erta. Pelukan yang sudah sangat-sangat lama tidak aku rasakan.

“I miss you too sweetheart.”

“Oh iya, sebelum kakak lupa, kakak punya sesuatu buat Ira.”

“Apa?” tanya Ira bersemangat. Aku mengeluarkan boneka angry birds berwarna merah berukuran sedang dari tas plastik besar bawaanku. Ira terkejut dan langsung mengambilnya dari tanganku.

“Boneka! Mama liat aku dapet boneka.”

“Bilang apa ke kak Asti?” Mama mengelus rambut Ira yang keriting dan tersenyum kepadaku.

“Terima kasih kak.” Kata Ira dan langsung mencium pipiku.

“Sama-sama Ira.”

Ira memamerkan boneka barunya ke seluruh penghuni rumah. Kepada Om Adi dan Papa yang sedari tadi mengobrol. Kepada Nenek yang baru keluar dari kamar. Kepada Bi Salam-pembantu di rumah ini. Dan kepada Iqbal-kakak kandung Ira. Aku melihat keakraban kakak adik itu dengan seksama. Lebih tepatnya aku melihat ke arah Iqbal yang menurutku banyak perubahan. Berubah menjadi lebih tampan.

Iqbal seumuran denganku. Mungkin hanya lebih tua beberapa bulan dariku. Iqbal adalah anak pertama Om Adi dengan istri pertamanya. Sedangkan Ira adalah anak kedua Om Adi dengan istri pertamanya. Bukan Mama, tapi istri pertamanya. Aku adalah anak Mama dan Papa. Oke mungkin sedikit complicated, atau memang sangat complicated. Seperti yang aku bilang, 7 tahun yang lalu saat pertama kalinya aku tau bahwa aku punya 2 orang Papa. Om Adi adalah Papa keduaku dan suami Mama yang sekarang. Mama dan Papa berpisah saat aku masih seumur Ira. Aku yang masih terlalu kecil saat itu tak pernah tau bahwa mereka tidak akan bersama lagi. Yang aku tau saat itu adalah Mama berobat di Medan dan akan tinggal lama dengan Nenek di Medan. Aku tidak menangis saat Mama pergi, aku hanya bingung kenapa Mama tidak mengajakku pergi dengannya. Padahal selama ini Mama dan aku tidak pernah bisa terpisahkan.

Tahun demi tahun aku menunggu dengan setia kepulangan Mama. Aku tidak pernah rewel agar Mama cepat pulang saat Mama menelponku. Aku tidak pernah menangis saat yang lain pergi bersama Mama mereka, sedangkan aku selalu pergi dengan Papa. Sampai akhirnya Papa mengajakku ke Medan untuk menemui Mama. 7 tahun yang lalu di rumah ini.

“Hai Ti.” Iqbal menyapaku dengan senyumannya yang jujur membuatku sedikit salting.

“Hai.” Aku membalas senyumannya dengan sedikit gugup.

“Gimana perjalanannya? Cepet banget kayaknya nyampe.”

“Iya ya? Menurut gue malah kelamaan.”

“Oh mungkin karena bokap gue jemput lama ya? Sorry harusnya gue yang jemput, tapi gue malah ketiduran.” Iqbal terlihat merasa bersalah. Dan salting. Sepertinya dia juga salting melihatku, terbukti dari tadi dia mengacak-acak rambutnya saat melihatku.

“Bukan kok, bukan itu. Slow aja kok.” Aku tersenyum.

“Ti, istirahat dulu sana. Kamarnya udah rapi kok.” Aku mengangguk ke arah Mama dan segera masuk ke kamar sambil membawa koperku.

“Sini biar gue aja.” Iqbal mengambil koper dari tanganku dan membawanya ke kamar. Aku mengikuti dia dari belakang.

Kamar tamu yang juga sama seperti 7 tahun lalu. Tapi ada yang berbeda dari kamar ini. Warna dindingnya berubah menjadi hijau.

“Keren. Warna kamarnya berubah gini.”

“Iya tah? Bagus deh kalo lo suka. Gue sengaja cat ulang kamar ini supaya lo betah di sini.” Aku terkejut. Lebih tepatnya sangat terkejut. Dulu aku tidak betah tinggal di sini karena kamarnya tidak bernuansa hijau sama seperti kamarku di Jakarta. Dan Iqbal masih mengingatnya.

“Oh. Makasih.” Sial. Pasti mukaku merah sekarang. Iqbal tersenyum dan langsung keluar dari kamar.

Iqbal Arbianto.

***

Suasana makan malam di rumah ini sangat-sangat membuatku nyaman. Sudah lama tidak merasakan masakan Mama yang selalu membuatku ingin nambah. Sudah lama juga tidak mendengar ocehan Nenek saat makananku tidak ku habiskan. Sudah lama tidak melihat Mama mengambilkan nasi untuk Papa. Ya moment-moment seperti itu masih bisa aku rasakan. Keakraban Papa dengan Om Adi yang seperti kakak adik juga membuatku tenang. Ternyata perpisahan kedua orang tua itu tidak pernah selalu buruk. Aku bukan anak broken home yang frustasi karena orang tuanya bercerai, aku malah bahagia punya keluarga baru seperti Om Adi, Nenek, Ira, terutama... Iqbal.

“Makan kok ngelamun.” Iqbal mengagetkanku dan duduk tepat di sebelahku sambil memegang handuk.

“Lo baru mandi?” aku mengamati Iqbal dengan seksama dan masih sangat terlihat tampan. Iqbal hanya mengangguk dan sibuk meletakkan lauk di piringnya.

“Gue baru mandi sekali ini hari ini.” Iqbal menambahkan.

“Jorok banget lo.”

“Bawel. Cepet abisin makannya, abis ini kita mau pergi.” Iqbal tidak megubrisku.

“Ke mana?” tanyaku bingung.

“Kita kencan.” Iqbal menatapku. Aku terdiam.

“Muka lo Ti Ti. Haha. Gak deng. Besok aja kita kencannya.”

Aku bingung. Apasih Iqbal ini gak jelas.

“Udah kalian makan dulu. Nanti lagi ngobrolnya.” Nenek menegur kami. Iqbal masih tersenyum sok misterius dan itu sangat-sangat membuatku penasaran. Sial.

***

“Belum tidur Ti?” tanya Mama saat memasuki kamarku.

“Belum Ma. Mungkin sebentar lagi.”

Mama duduk di sebelahku. Mengelus rambutku dan melihatku dengan seksama.

“Kenapa Ma?” tanyaku.

“Gak apa-apa. Sekarang Mama sudah punya anak gadis rupanya. Maa baru sadar.” Mata Mama berkaca-kaca melihatku. Aku hanya tersenyum.

“Kamu udah punya pacar?”

“Nggak. Belum. Kenapa? Gak boleh ya Ma?” Aku bertanya lagi.

Mama hanya tersenyum.

“Boleh. Asal yang terbaik untuk Asti.” Aku menatap mata Mama. Masih berkaca-kaca. Aku tau ada yang ingin Mama katakan kepadaku.

“Mama bahagia gak sih dengan keadaan yang sekarang?”

“Kenapa kamu tanya kayak gitu sayang?” Mama mengelus rambutku lagi.

“Aku cuma pengen tau aja Ma.” Mama menggenggam tanganku. Erat. Akupun demikian.

“Mama bahagia Ti. Sangat. Mama bahagia memiliki anak seperti kamu. Mama bahagia karena sempat mengabdi untuk Papa kamu. Dan Mama juga bahagia bertemu dengan Om Adi dan keluarga kecilnya. Apa kamu berpikir Mama ini jahat Ti sudah meninggalkan kamu dan Papa kamu?”

“Jelas nggak. Papa bilang ke aku kalau Papa tetap bahagia dengan keadaa yang sekarang. Karena ada aku yang selalu buat Papa merasa berhak untuk hidup. Papa juga pernah bilang, mungkin Mama bukan jodoh sampai matinya Papa. Mungkin perempuan lain. Kalau Papa menikah lagi, apa Mama setuju?”

“Jelas. Itu hak Papa kamu. Mama malah berharap ada yang menjaga kalian dengan baik dan lebih baik dari Mama. Tapi, apa kamu juga setuju Ti?”

“Sama kayak Mama, aku juga setuju. Asalkan Papa dan Mama bahagia. Itu udah sangat cukup buat aku Ma. Kebahagiaan aku adalah kalian berdua.”

Mama menangis dan memelukku. Aku juga ikut menangis. Percakapan dengan orang tua itu memang selalu menitikkan air mata.

“Oke. Udah malem. Besok kamu nemenin Iqbal ya jangan lupa.” Kata Mama sambil menghapus air mataku dan air mata Mama.

“Ha? Iqbal?”

“Iya. Tadi dia bilang ke Mama tolong bilang ke kamu besok temenin dia cari kado buat temennya. Sekalian kamu jalan-jalan.” Jelas Mama. Aku mengangguk. Mungkin ini yang di bilang dia tadi tentang kencan.

Mama mencium keningku dan segera menyuruhku tidur. Aku tersenyum. Dan kemudian terdiam saat Mama sudah keluar dari kamarku. Bingung. Senang. Entahlah. Perasaan aneh saat nama Iqbal di sebut tadi. Sama saat aku pertama kali bertemu dengannya. Berbeda dengan 7 tahun yang lalu, Iqbal sangat jail dan nakal. Aku selalu di buat menangis olehnya. Walaupun begitu, saat aku menangis, Iqbal pasti langsung minta maaf dan mengatakan tidak akan mengulanginya. Hal kecil itu yang membuatku selalu ingat kepadanya.

Aku mencari ponselku dan segera mengirim pesan singkat untuk Dera. Hampir saja aku lupa kalau dia tadi ke rumahku.

*To: Dera
Hai gadis. Sorry baru ngabarin. Gue udah nyampe di Medan dengan selamat sentosa.
Lo tadi ke rumah gue ngapain Der?
Oh iya, ada cowok ganteng di sini dan lo harus tau kalo besok gue bakal kencan sama dia. Hihi. Jangan iri ya darl.
Salam Horas dari Medan! :D*

***

Jam 10.30.

Aku sudah rapi menunggu Iqbal di teras rumah. Iqbal bilang hari ini akan ada hal istimewa yang dia berikan untukku. Entah apa hal istimewanya. Yang jelas aku sangat-sangat gugup.

“Sudah siap cantik?” Iqbal mengagetkanku. Dan apa tadi dia bilang? Cantik?

“Oh udah.” Jawabku terbata-bata. “Kita mau ke mana?” tanyaku.

“Ntar juga lo tau.” Iqbal membuka pintu depan mobil untukku dan aku segera masuk. “Perjalanannya agak jauh. Jadi lo boleh tidur dulu kok.” Jelas Iqbal lagi.

Aku terdiam. Tidak ingin banyak tanya lebih tepatnya. Biarlah Iqbal mau membawaku ke mana, asal jangan ke tempat yang menyeramkan saja.

Dalam perjalanan, aku dan Iqbal tidak banyak mengobrol. Dia bahkan yang sering bertanya kalau aku diam saja. Aku sangat-sangat tidak tau jalan menuju ke mana sekarang ini. Tapi perjalanan 2 jam 30 menit memang cukup membuat badanku gerah dan pegal.

“Kita sampai.”

“Danau Toba?” aku melihat danau terbentang sangat luas di pinggir kanan jalan. Danau Toba. Iya ini tempatnya.

“Yap. Keren kan gue bisa bawa lo ke sini.” Iqbal tersenyum lebar memperlihatkan geligi putihnya yang sangat manis itu.

“Gak kepikiran.” Kataku lagi masih terus mengagumi keindahan alam di depan mataku itu.

“Kita turun di sini aja. Kita jalan kaki aja kalo mau keliling-keliling. Ada tempat jual oleh-oleh juga kalau ada yang mau lo beli.” Iqbal mengenggam tanganku. Aku terdiam menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus senang. Kami turun dari mobil. Masih dengan perasaan aneh yang kami simpan di pikiran masing-masing.

Danau Toba memang adalah salah satu tujuanku jika aku ke Medan. Tujuan yang harus dan kudu aku datangi. Di sini aku pernah bermain kejar-kejaran dengan Iqbal. Iqbal yang selalu jail dan pernah menghapus air mataku saat aku kesal karena di jaili dia juga terjadi di sini. Entah apa maksudnya mengajakku kemari. Untuk mengulang kenangan dulu mungkin.

“Masih inget dulu kita pernah main di sini?” Iqbal seperti membaca pikiranku. Aku hanya mengangguk. Setelah itu kami berdua terdiam. Seperti ada yang ingin dia sampaikan. Tapi aku sekali lagi tidak ingin banyak bertanya.

Kami sampai di tempat menjual pernak-pernik untuk oleh-oleh. Aku memilih beberapa oleh-oleh untuk teman-teman di Jakarta, terutama untuk Dera. Iqbal membantuku memilihkan oleh-oleh yang lucu dan unik. Banyak hal lucu yang kami lakukan berdua dan itu membuatku tertawa. Iqbal berusaha membuatku sangat nyaman pergi dengannya. Apalagi saat Iqbal mengenggam tanganku saat kami jalan berdua. Itu sangat membuatku nyaman.

“Capek? Laper?” Iqbal bertanya kepadaku. Aku hanya mengangguk. “Daritadi lo ngangguk terus tiap gue tanya.” Iqbal memasang wajah cemberut.

“Jadi gue harus jawab apa dong?”

“Hmm. Terserah.”

“Ti...” Iqbal memanggilku.

“Iya?”

“Kali ini gue minta lo jawab ya.” Kata Iqbal lagi.

“Jawab apa?”

“Kalo gue tanya, lo mau gak jadi pacar gue. Lo mau jawab kan?” Iqbal bertanya hal itu kepadaku. Aku terdiam. Bengong. Bingung. Dan merasa aneh saat Iqbal mengatakannya kepadaku.

“Ha?” 1 kata itu yang terucap dari mulutku.

“Apa jawabannya?” Iqbal menyentuh pipiku. Aku mundur perlahan. Spontan.

“Sorry Ti.Gue gak bermaksud untuk...”

“Nggak kok. Gue Cuma kaget aja Bal. Gak apa-apa.” Aku salting. Iqbal juga.

“Iya.” Kataku lagi. Dengan pasti dan dengan jelas.

“Iya apa?” tanya Iqbal kurang yakin.

“Kata lo suruh jawab. Ya gue jawab itu kalo lo tanya yang tadi.”

Iqbal tersenyum dan langsung memelukku. Aku tidak melawan atau berontak. Aku malah memeluknya. Laki-laki yang memelukku ini adalah laki-laki yang selalu rajin menghubungiku saat aku di Jakarta. Dia sebenarnya alasan utama aku mengajak Papa ke sini. Aku dan dia sudah membuat janji. Dan dia berjanji akan menanyakan sesuatu kepadaku dan aku berjanji akan menjawab pertanyaannya itu. Janji kami terpenuhi.

Ponselku berbunyi dan membuat aku dan Iqbal melepaskan pelukan kami.

“Sebentar.” Kataku kepada Iqbal. Pesan dari Dera.

*From: Dera
Ti, pasti cowok ganteng itu Iqbal kan?
Ciye ketemu juga. Gimana kencannya? Apa sekarang masih kencannya?
Lo di mana? Jangan lupa pesenan gue ya :*

To: Dera
Sukses! :*


Iqbal mengenggam tanganku lagi. Aku juga mengenggam tangannya. Lebih erat. Lebih hangat. Lebih yakin memang ini jalan kami.

Pengalaman Menarik Di Danau Toba 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Aku, Kamu, dan Danau Toba Rating: 5 Reviewed By: kevin